Narasi Resah

Mega Gloria
6 min readFeb 15, 2021

--

— Kejadian ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis pada kisaran pertengahan Mei 2020 saat pandemi masih menjadi hal baru yang menjeru kehidupan.

Foto oleh Lili Popper via Unsplash.com

Selama pandemi rutinitas sehari-hari banyak mengalami perubahan. Bangun pukul 05:00 melihat jam, lalu tidur lagi (seperti biasa). Kemudian dengan malas membangunkan diri setelah melihat alarm sudah menunjukkan sekitar pukul 06:30. Dengan malas mensenyapkan alarm di gawai, terduduk dan termenung selama beberapa menit. Kebiasaan saya yang tidak akan memeriksa notifikasi gawai sebelum saya selesai merapikan kamar dan membasuh wajah.

Pagi ini cerah, matahari terik tak malu-malu memancarkan sinarnya. Saya menuju balkon dan menguap dengan malas. Mengingat schedule hari ini saya harus melakukan exercise.

Setelah stretching, saya bergegas ke kamar untuk memulai latihan fisik. Seperti biasa saya selalu meniru gerakan seorang vlogger cardio dari layar gawai atau laptop saya. Sudah merupakan kebiasaan dan pilihan terbaik yang saya agungkan, saya memilih abs workout sebagai jalan ninja saya dalam urusan pembentukan badan — body goals kalau kata ciwi-ciwi.

Seusai menguras tenaga dan berkeringat, saya kembali lagi ke balkon untuk menghirup udara dan menantang diri pada si lampu besar yang terang. Entahlah, rasanya balkon ini selalu menjadi tempat kesukaan saya untuk bersinggah atau sekadar memandangi dunia luar. Maklum, sebagai penghuni setia kost hanya tempat ini pelarian saya di saat pikiran sedang kacau dan kusut.

Merasa lapar dan sudah cukup mengisi kembali tenaga, seusai olahraga saya beralih ke dapur. Menyiapkan sarapan dengan menu yang ‘itu-itu lagi’. Membelah buah naga, mencuci bayam dan wortel. Lalu dicampur dengan secangkir susu dan dihaluskan. Kalau ada yogurt akan menjadi menu komplit. Sebagai ‘pemanis’ atau — ya sebenarnya tujuannya untuk lebih mengganjal perut saya yang lapar — saya mencampur ramuan saya dengan sesendok atau dua sendok oats, tergantung keinginan saya, suka-suka.

Menuju balkon, saya terbiasa memilih duduk di lantai agar bisa leluasa saat multitasking, menyantap sarapan yang— bagi sebagian orang rasanya (tidak) itu — dan membaca buku. Hari ini saya melanjutkan halaman-halaman yang belum saya baca dari buku Carnegie. Saat sedang asik membaca pembahasan "Awali Dengan Positif" fokus saya buyar setelah mendengar krasak-krusuk seperti ada yang memanggil. Saya mencari-cari sumber suara tersebut entah dari mana asalnya.

"Kiw kiw"
"skraakh"
"Phiiwiitt"
"Halo kakak cantik"
"Baju hitam jangan sampai lolos"

Deg, “Shit”
Pikiran saya mengumpat saat saya menyadari ada beberapa oknum pemuda yang berkumpul sekitar 3 atau 4 orang tepat di depan saya yang berjarak sekitar 25 meter dari tempat saya duduk. Karena mata saya rabun jauh dan saya bukan pengguna kacamata, pandangan saya kabur dan tidak bisa memastikan sosok dan rupa seperti apa para pemilik mulut-mulut genit ini.

Balkon kost-an saya mengarah pada bangunan yang entahlah saya tidak bisa memastikan dengan benar bangunan tersebut adalah kost-an atau rumah warga. Tapi saya selidiki sepertinya bangunan tersebut dihuni oleh khusus pria. Bagian ruang yang bisa saya pandang berupa tempat jemur yang tertutupi oleh terali besi yang cukup bisa memudarkan pandangan, ditambah lagi banyak jemuran dan terpal yang menggantung pada ruangan tersebut.

Saya kaget tetapi lebih merasa kesal dan marah. Saya tidak tahu sejak kapan mereka ada di sana, sejak hari apa mereka memperhatikan saya, karena hari-hari sebelumnya saya juga pernah mendengar suara-suara setan seperti itu hanya saja saya tidak mengacuhkannya.

Saya akui pakaian saya saat itu sangat minim dengan mengenakan celana (sangat) pendek karena memang begini lah outfit yang saya kenakan saat olahraga di ruangan. Alasan lain karena Jakarta sangat gerah dan saya tidak mampu membendung udara yang menyengat dan menguras keringat. Selebihnya tidak ada maksud untuk mengundang gairah atau sejenisnya.

Saya terdiam dan termangu sesaat. “Cantik” Entah sejak kapan saya mulai muak dengan kata tersebut. Semakin saya dewasa kata “Cantik” rasa-rasanya sering disalahgunakan dan mulai tak bermakna. Saya benci mendengar pujian tersebut dengan disisipi makna lain yang menjadikan kata sifat tersebut mengandung kesan cabul.

— Kembali ke kejadian

Oke, mungkin kali ini memang saya yang salah. Saya berpakaian terlalu minim sehingga mengundang gairah para oknum cabul tersebut. Terbesit juga di pikiran saya bahwa ya mungkin saja hal itu wajar. Karena berdasarkan riset penelitian yang pernah saya baca, rata-rata pria memikirkan seks lebih sering daripada wanita. Seingat saya riset ini dilakukan kepada populasi wanita dan pria di negara AS. “Oke baiklah, mungkin ini memang salah saya berpakaian terlalu minim di tempat terbuka, mungkin dapat memancing birahi. Wajar saja sepertinya, saya maklum. Saya salah” pikir saya.

Saya mengakui kesalahan saya. Untuk menghentikan kejadian tidak enak itu, saya langsung beranjak dan bergegas cepat meninggalkan balkon tanpa menghiraukan kicauan mereka yang tak ada henti-hentinya. Kesal, saya tidak melanjutkan bacaan saya.

— Keesokan harinya

Saya memulai hari saya dengan rutinitas yang sama seperti hari kemarin. Bedanya hari ini saya tidak olahraga karena jadwal yang saya atur hanya 1x per dua hari. Mengingat tragedi menjadi korban catcall. Baiklah hari ini saya memutuskan untuk memakai pakaian yang tertutup. Saya memakai celana rumah di bawah lutut dengan kaos lengan pendek — menurut saya pakaian saya ini sudah sopan dan benar-benar wajar.

Sama seperti hari kemarin, saya masih saja mendengar krasak-krusuk orang memanggil, tapi kelihatannya oknumnya hanya sekitar 2 orang. Tidak terlalu berisik seperti kemarin. Saya berusaha cuek dan fokus pada bacaan saya. Tetapi ternyata tetap saja saya tidak merasa nyaman. Menyerah, saya hanya bertahan sekitar 20 menit di sana.

Singkat cerita, hari baru mulai kembali.

Saya melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Karena pandemi dan kebetulan jadwal perkuliahaan saya dimulai di siang hari. Mata kuliah di pagi hari biasanya hanya untuk mengisi kehadiran di google classroom.

Saya menuju balkon. Saya memastikan untuk duduk dan bersandar dengan tenang sebelum memulai bacaan saya (lagi). Mengingat kejadian 2 hari yang telah berlalu, hari ini saya memutuskan untuk menggunakan pakaian yang lebih tertutup. Saya menggunakan tanktop hitam dan celana tidur lalu menggunakan cardigan rajut dan tertutup untuk outfit membaca hari ini. “Huh, gerah” saya menggerutu.

Karena kejadian-kejadian kemarin, saya enggan untuk memperhatikan pandangan yang ada di depan saya. Saya mulai membaca. Baru 2 lembar saya habiskan, tiba-tiba suara krasak-krusuk itu kembali terdengar. Sekali, dua kali saya hanya diam, tak menggubris dan berusaha untuk fokus. Tetapi semakin saya menghiraukan suara-suara setan tersebut, intonasi nadanya semakin meninggi dan berisik. “Duh, apa lagi sih” saya mulai resah.

“Serius amat mbanya”

“Lihat sini dong cantik”

“Kiw kiw asdfghjkl”

“Kok bajunya berubah mba”

Dan kata-kata mengandung unsur cabul lainnya. Saya muak. Benar-benar muak. Saya langsung mengalihkan pandangan saya lurus ke depan melihat para oknum pemuda bertelanjang dada yang terlihat merupakan pelaku yang sama dari kejadian-kejadian kemarin, tertawa cekikikan tanpa merasa bersalah.

“Bajingan” hanya kata itu yang langsung terlintas di benak saya saat memandangi mereka melakukan aksi tidak senonoh ini. Tak terucap tetapi merah wajah saya sudah tak dapat membendung amarah. Saya salah apa sih, saya sudah mengenakan pakaian tertutup, saya tidak ada melakukan aksi cabul atau menggoda, saya hanya duduk diam dan melakukan hak saya sebagai penghuni kost dan menikmati waktu saya. Tetapi masih saja para ‘keparat’ ini tak mampu membungkam mulutnya. Ah sudahlah.

Tanpa pikir panjang, saya beranjak dan berdiri tegak. Saya mengacungkan kedua jari tengah saya ke hadapan mereka layaknya meniru Maeve Wailey saat menghantam para catcallers di adegan cuplikan series Sex Education. Saya merasa hal itu merupakan perbuatan yang kasar tetapi hal itu harus saya lakukan serta merta agar para oknum-oknum cabul ini jera. Tanpa melihat lebih lanjut respons dari mereka, saya angkat kaki dan meninggalkan balkon dengan rasa kesal dan perasaan tidak enak lainnya yang turut mengelabui.

Sejak kejadian-kejadian ‘horror’ tersebut, hari-hari berikutnya saya hiatus melakukan kebiasaan membaca di balkon. Saya juga mulai mengurungkan niat untuk hanya sekadar mampir di sana. Saya malas. Hanya kata itu yang bisa mendeskripsikan keadaan saya.

Seminggu merambat ke dua minggu lalu mencapai kisaran sebulan. Saya mencoba kembali melanjutkan kebiasaan membaca di balkon. Memberanikan diri dan berusaha cuek akan kejadian tak mengenakkan tersebut — atau mungkin hanya saya saja yang terlalu menganggap kejadian itu terlalu serius, entahlah.

Saya duduk dan mencoba diam dengan tenang memandang ke arah sana, tak ada siapa-siapa. Saya mulai membaca, tapi selalu ada perasaan awas dan tidak tenang. Baru membaca beberapa bait saja, saya selalu memperhatikan ke arah sana, takut ada yang sedang meperhatikan lagi, takut kejadian yang sama terulang kembali.

Oh harus seperti ini kah? Apa saya harus berubah menjadi galak dan berperilaku tidak sopan lalu melarikan diri dahulu baru mereka semua jera dan bisa mengerti?

Saya mulai berpikir dan menenangkan diri. Kembali mengingat sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan. Ternyata saya sudah paham dan tahu jawabannya. Saya hanya lupa, lupa kalau saya hanya seorang perempuan.

--

--