Bertamu ke Merbabu

Mega Gloria
27 min readSep 23, 2023

--

Pesona Merapi di kala senja | 19 Agustus 2023–17:27 | Doc.Pribadi.

Prolog

“Berkelana sendiri kali ya tahun ini?” — “Ayo!”, jawabku kepada si gadis bingung dengan segudang rencana di pantulan cermin.

Pertengahan bulan Agustus 2023, tidak aku sangka gambar perempuan pengembara sendiri yang aku unduh dari Pinterest untuk vision board yang aku pajang menjadi layar kunci di gawaiku, bisa aku wujudkan menjadi kisahku sendiri. Awal tahun ini aku sudah berencana melakukan hal-hal yang belum aku lakukan di versi diriku yang lebih muda sebagai usaha mengenali jiwa yang hidup di tubuhku selama 23 tahun ini.

Perjalanan solo perdana, aku memilih gunung sebagai destinasi primer. Sebenarnya ini akal-akalanku saja yang sudah jenuh dengan sumpeknya ibu kota dengan polusi yang tak ada habisnya bertebaran di mana-mana. Aku terkungkung dan tidak punya tempat untuk benar-benar berlindung, kembali ke alam menjadi jawaban satu-satunya. Toh, udah lebih dari 4 tahun sejak perjalanan pertamaku bertamu ke salah satu atap langit di Jawa Tengah. Karena jadwal yang tidak pernah berjodoh dengan rekan-rekan pendakiku, akhirnya aku memilih untuk melakukan pendakian sendiri. Aku sadar ini bukan keputusan buruk, sejujurnya ini memang keinginan batinku.

Aku memutuskan untuk berkelana di temani oleh pemandu dari agen perjalanan, mengingat aku belum memiliki kemampuan memasang tenda dan membawa peralatan perkemahan yang mumpuni, alasan lain juga karena untuk bertamu ke gunung tidak diizinkan untuk pergi seorang diri, setidaknya minimal memiliki 2 teman sependakian. Aku memilih pergi bersama agen perjalanan yang eksis karena portofolio mereka yang telah menemani ribuan pendaki dan puluhan publik figur menjelajah puncak-puncak indah. Dengan pengalaman mereka yang sudah lebih dari 15 tahun, cukup meyakinkanku akan jaminan keseruan pendakianku kelak. Setelah 3 kali maju mundur ingin mendaftar karena ketidakstabilan jadwal kerja, berulang kali memeriksa prakiraan iklim di berbagai platform untuk memastikan cuaca aman sentosa, akhirnya pilihan aku jatuhkan pada tanggal 19–20 Agustus, dengan destinasi melancong ke gunung yang terkenal dengan surga Edelweisnya, Merbabu.

Sejujurnya sejak hari aku berencana dan mendaftarkan diri, tak ada perasaan yang berlebihan saat menuju hari pendakianku. Aku melakukan persiapan seadanya, olah fisik seperti jadwal yang biasa aku lakukan. Membeli beberapa peralatan yang krusial, walaupun harus merelakan uang tabunganku terkuras banyak. Tapi entah mengapa perasaanku sangat damai dan bahagia sekali saat berbagai mas-mas ekspedisi datang mengetuk pintu rumah dengan nada dan teriakan “PAKEEET” yang sangat memuaskan telinga, lalu menyodorkan belanja-belanjaanku. Ada perasaan lebih dari sekadar membeli, tetapi menyambut sesuatu yang akan turut menjadi saksi bisu perjalananku. Sejujurnya ini menjadi satu-satunya hal yang paling aku senangi menjadi dewasa, aku sudah mampu membeli beberapa hal yang dahulu versi kecilku aku tak mampu. Aku hanya banyak berharap di hari pendakianku nanti semua berjalan lancar, cuaca bersahabat, dan aku terus berada dilindungan Sang Pencipta.

18 Agustus 2023 | 19:00 — Awal Petualangan Dimulai

Layar gawaiku menunjukkan pukul 19:00. Saat ini aku masih berkutat dengan kemacetan Cawang bersama mas-mas ojek online. Untuk efisiensi waktu, beliau mengarahkan kemudi motor bebeknya melewati gang-gang kecil. Jujur walaupun sedikit memacu adrenalin, sebenarnya aku sangat menikmati serunya melewati gang-gang rumah warga, seakan menghadapi labirin-labirin permainan untuk sampai ke garis pemenang.

Sesampai di titik penjemputan RS UKI Cawang, ada hal yang baru saja aku ketahui, bahwa tempat ini sudah cukup lama menjadi tempat titik penjemputan para pendaki yang ingin berkelana ke destinasi-destinasi kerajaan awan, alhasil trotoar di sini sangat padat dengan kerumunan orang. Bukan tipikal pemandangan yang aku senangi. Aku melakukan transaksi perjalananku sekaligus berkenalan dengan pemandu dan penanggung jawab perjalanan ini, ada Mas Andri dan Kak Tajuddin. Tidak sengaja aku bertemu satu perempuan yang penampilannya sebaya dengan diriku. Angel, namanya. Kami berkenalan dan saling berbincang, rupanya ia juga datang seorang diri. Aku tak sungkan untuk mengajaknya makan malam di rumah makan yang menjual menu ayam krispi, sebelah lahan parkir RS ini. Dan senangnya ia mengiyakan ajakanku. Rumah makan ini padat diisi oleh para pendaki yang menyantap asupan energi, beristirahat, dan bertemu dengan sesama rekan pendaki, hampir semua meja dan kursi sudah terisi penuh. Ada dobel meja di dekat pojokan yang diisi oleh satu laki-laki berumur sekitar 25an ke atas. Memberanikan diri, aku meminta izin untuk duduk di sampingnya. Fedy namanya, ia seorang diri juga. Sambil aku menyantap makanan, kami banyak berbincang dan membahas pendakian. Angel memiliki pengalaman yang serupa dengan diriku, baru dua kali berkunjung ke gunung, dan kali ini ia akan melanjutkan destinasi ke-2nya menuju Sindoro, sedangkan ini kali pertamanya Fedy mendaki gunung, ia akan bertamu ke Prau. Aku senang mereka telah menemaniku makan malam saat itu. Sebelum berpisah, Fedy mengajak kami bertukar sosial media, dan kami saling mendoakan agar perjalanan kami masing-masing menyenangkan.

21:18 — Musik Menyatukan

Berdendang bersama di perjalanan | 18 Agustus 2023–21:28 | Doc. Pribadi.

Aku sudah berpisah dengan Angel dan Fedy, rombongan mereka akan berangkat. Rombongan ke Merbabu pun akan berangkat menggunakan 3 minibus. Aku memasuki 1 minibus yang akan ditemani 1 pemandu, 1 pengemudi dan 14 pendaki lainnya, 13 di antaranya merupakan satu perkumpulan dan 1 pendaki solo. Ini pertama kalinya aku akan melakukan perjalanan panjang dengan orang-orang asing yang baru saja aku temui 10 menit yang lalu. Di minibus ini, tersedia TV sekitar 25 inci agar kami bisa mengakses lagu-lagu untuk bernyanyi bersama. Sambil berkenalan dan berbincang-bincang membahas latar belakang kami masing-masing, kami memilih playlist yang hits di era 90-an, karena penumpang minibus ini didominasi milenial yang sudah berkeluarga. Biar makin meriah, kami juga memutar playlist dangdut koplo. Lumayan, beberapa lagu koplo cukup familiar di telingaku. Aku tebak ini karena paparan platform TikTok yang selalu menciptakan lagu-lagu koplo versi speed up, alhasil kupingku tak asing mendengar beberapa di antaranya. Aku turut bahagia dengan euforia kami yang bernyanyi dan bersenang-senang bersama. Sambil mengulangi nama-nama para pendaki saat berkenalan, aku berusaha keras mengingat nama mereka semuanya, tetapi sindrom Dory yang ku punya ini membuat aku mudah lupa persekian detik, aku yakin seiring waktu nanti aku akan ingat semuanya. Aku senang akan momen ini.

Aku turut becuap-cuap kecil saat lagu ‘Dan’ — Sheila on 7 dikumandangkan. Aku ingat, lagu ini eksis di era masa kanak-kanakku. Aku sebentar tenggelam dengan ingatan dan pikiranku yang melayang ke masa dulu bak mesin waktu. Kegiatanku ini didukung dari pemilihan tempat duduk paling kiri di kaca jendela yang ku jadikan sandaran menikmati perjalanan panjang tol Jakarta — Cikampek dan disambung ke Cikopo — Palimanan. Mendramatisasi keadaan, aku mengkhayal menjadi seorang karakter utama di video klip lagu-lagu romansa yang mendayu-dayu dengan ending pilu.

23:00 — Energi Dipadamkan

Tampaknya segerombolan sudah lelah bernyanyi ria dan satu persatu mulai tertidur. Musik dari playlist Chicago, jujur ini kali pertama aku mendengar nama pemusik ini. Musik mereka terpampang di layar TV mengumandangkan lagu-lagu yang merdu. Nada dan alunan para musisi ini membuatku bergegas mengakses tab pencarian untuk mengetahui siapa mereka. Seperti namanya, mereka berasal dari Chicago, Illnois yang terkenal sebagai rock band pada tahun 80an — mungkin kalau aku tanyakan kepada Ayahku, beliau akan familiar. Bukan pilihan yang buruk untuk playlist tidur. Aku masih belum bisa memejamkan mata, karena ada beberapa hal yang perlu aku selesaikan. Aku melompat ke tab Daily Journal Notion-ku, menulis kisahku dan memberikan ceklis di setiap daftar kegiatan hari ini, lalu melanjutkan latihan bahasa Jerman di aplikasi burung hantu hijau.

19 Agustus 2023 | 00:45 — Jauh Dari Rumah

Masjid Rest Area TRAVOY KM 207 A Palikanci, Cirebon | 19 Agustus 2023–00:47 | Doc. Pribadi.

Kami berhenti di Rest Area KM207 Cirebon. Aku terheran karena areanya sangat luas. Aku melipir ke arah minimarket yang banyak sekali pilihannya, sampai aku harus berdiam membeku beberapa detik memilih ke mana kakiku harus melangkah. Aku membeli air mineral tambahan, mengingat jalur pendakian Selo tidak dilewati arus mata air. Lucunya, aku bertemu kembali dengan Angel dan Fedy. Sebenarnya kami memang mendaftarkan ke agen perjalanan yang sama, tak heran jadwal kami pun turut sama. Kami berbincang sedikit sekadar membahas kembali tentang gunung. Aku berkenalan dengan beberapa pendaki lainnya. Aku memilih untuk tidak menyantap apapun karena sudah kenyang. Satu jam kemudian, kami kembali lagi ke mobil masing-masing. Kali ini tubuhku sudah mulai luluh untuk beristirahat. Aku menutup mata dengan sandaran bantal leher yang dilengkapi fitur tambahan tudung berdesain kepala Shiba, yang aku dapatkan dari rekan kerjaku tahun lalu. Setengah sadar, aku terlelap.

05:14 — Terjaga Karena Udara Segar

Sejuknya udara pagi di SPBU Lopait, Cirebon | 19 Agustus 2023–05:33 | Doc. Pribadi.

Kami melipir ke SPBU Lopait untuk mengisi bensin dan melaksanakan ishoma. Aku sempat ke luar dari mobil dan menikmati sejuknya udara segar Jawa Tengah yang berdekatan dengan Danau Rawa Pening. Kemudian aku memilih untuk menetap di mobil, karena udara di luar cukup menusuk tulang. Pukul 05:35 kami berangkat menuju tujuan akhir, base camp Merbabu. Sepanjang perjalanan, aku terpana dengan panorama hijau dari pepohonan, seberkas siluet dataran tinggi dan gunung yang tertutup awan dan kabut pagi. Yang paling bikin aku takjub adalah rupanya sang juru mudi mobil ini sudah sangat handal mengendarai kendaraan roda empat melewati jalanan yang berkelok-kelok dengan ketinggian jalan yang curam dan terjal. Sebenarnya aku cukup khawatir, tetapi aku tetap menikmati setiap adrenalin, pun juga pagi ini minibus kami sudah memutar playlist koplo yang seakan-akan memberi pesan untuk tetap tenang dan berbahagia.

06:40 — Disambut Merapi

Disambut merapi yang malu-malu | 19 Agustus 2023–06:43 | Doc. Pribadi.

Akhirnya kami sampai di base camp jalur pendakian Selo. Baru saja sampai kami sudah disambut oleh pesona puncak Merapi yang muncul malu-malu tertutup awan. Aku bersyukur sekali udara pagi ini sangat menyegarkan, rasanya hampir tak pernah bisa bernafas sebebas ini di ibu kota. Langitnya biru utuh dan bersih, kebun daun bawang dan seledri melengkapi pesona jalan menanjak di sekitar sini. Satu persatu kami merapikan barang bawaan kami, lalu mengantri toilet. Bagian ini yang cukup menyita banyak waktu, mengingat toilet gratis yang disediakan hanya 1 bilik air dan 1 toilet. Sembari menunggu aku masih melancarkan misiku untuk tetap berkenalan dengan pendaki-pendaki asing lainnya.

Beberapa pendaki sedikit terkejut ketika aku mengatakan aku datang seorang diri, tapi tak sedikit juga mewajarkan, dan memang haruslah demikian. Sebenarnya banyak sekali kisah-kisah aku temukan dari para pendaki di momen mengantri ini, yang tak mampu aku ceritakan semuanya. Ada yang berlatar belakang pekerja swasta, ada juga dari kepemerintahan, ada yang ibu rumah tangga, ada yang punya bisnis, banyak juga yang datang karena sekadar hobi dan ingin menghibur diri. Ada yang bersama keluarga, ada yang seorang diri sepertiku, bersama teman dan yang paling belum bisa aku tiru saat ini, berpasangan, ah romantisnya.

10:17 — Siap Bertualang!

Momen bersama se-pendakian Merbabu Jalur Selo | 19 Agustus 2023–10:29 | Doc. Pribadi.

Setelah memilah barang bawaan dan memastikan sudah lengkap, kami menyantap soto beserta nasi dan kerupuk, dan juga teh manis hangat yang disediakan oleh tim perjalanan. Setelah semuanya beres, kami berkumpul untuk melanjutkan misi pendakian kami. Sebelum berangkat, tak lupa kami melakukan euforia tos-tosan untuk meningkatkan semangat pengembaraan kami 6 jam ke depan. Kemudian satu persatu bubar dan menuju ke gerbang pendakian Merbabu jalur Selo. Pendakian dari agen perjalanan hari ini diikuti oleh 45 peserta dari Jakarta dan pendaki yang berangkat dari Malang. Dan lagi-lagi sejujurnya ini bukan keadaan yang aku senangi, tapi apa boleh buat, ini adalah tempat umum dan perjalanan bersama orang asing, aku harus mengerti dan menerima bentuk keadaan seperti apapun. Konon, hari ini kuota pendakian ke Merbabu sudah penuh dikunjungi oleh 500 pendaki. Tak heran, mungkin karena hari ini momen yang tepat setelah libur Kemerdekaan, atau mungkin Agustus punya daya tarik tersendiri untuk pengunjung bertamu, wajar saja karena masih musim kemarau. Tapi apapun harinya, dan seberapa banyak pun yang datang, Merbabu memang pantas untuk dikunjungi, kalian akan segera paham sendiri.

My amazing companion ❤ | 19 Agustus 2023–12:28 @ Pos 1 Dok Malang | Doc. Pribadi.

Aku bergegas berjalan bersama segerombolan pendaki yang bersamaku selama perjalanan mobil dari Jakarta tadi. Akan aku kenalkan satu persatu, ada Kak Natta bersama suami, Mas Andre, Mba Igna dengan suami, Mas Erico, Mba Siska dengan suami, Mas Baim, Kak Rangga, Kak Irfan, Kak Tegar dan kembaran unbiological-nya, Kak Ramadan (nama panggung mereka Onge dan Jange), lalu Mba Devy dan Mas Kamal, yang membawa anak mereka Ezy, si bocah bilingual yang paling bikin pendakian ini banyak jenakanya. Ezy masih umur 5 tahun dan aktif berbicara menggunakan bahasa Inggris, sebenarnya bukan hal yang janggal, tetapi karena kefasihannya berbahasa Inggris, Ezy sampai tidak mengenali bahasa ibunya. Alhasil setiap Sabtu Ezy mengikuti les Bahasa Indonesia. Aku sempat bertanya latar belakang ini terjadi kepada Mba Devy, ini karena Ezy sudah mendapat asupan bahasa Inggris dari video-video yang ditontonnya sejak masih bayi. Aku takjub, betapa kebiasaan-kebiasaan kecil yang kita terima sejak sangat dini memiliki pengaruh yang luar biasa untuk tumbuh kembang seorang anak. Aku meyakini dan memaklumi hal ini, aku sempat membaca riset dari buku “The Brain Child” karya Tony Buzan yang menyatakan bahwa sel otak bayi tak terhingga, lebih luas dari seisi luar angkasa. Saat golden age (1000 hari pertama anak sejak dilahirkan) adalah waktu yang tepat untuk memberikan pola asuh, kebiasaan dan nutrisi terbaik, karena sangat berdampak besar untuk tumbuh kembang dan kecerdasan anak seiring waktu. Pelajaran ini bisa aku terapkan kelak jika nanti aku menikah dan menginginkan punya anak. Tak bisa dipungkiri aku senang melihat anak-anak kecil, tetapi aku juga menyadari adalah tanggung jawab yang begitu besar untuk memberikan kehidupan untuk mahkluk lain, sedangkan diri ini tak jarang masih sulit merawat diri apalagi memberi kepada insan lain. Hal ini yang selalu bikin aku bangga dan terheran-heran kepada ketangguhan setiap orang tua, khususnya ibu dan perempuan. Tapi rasanya aku terlalu jauh memikirkan hal itu, ada baiknya menemukan partnernya terlebih dahulu.

The fascinating greenery tunnels | 19 Agustus 2023–12:51 | Doc. Pribadi.

Jalur awal aku sangat menikmati setiap langkah, aku senang sekali jalur kali ini merupakan jalan setapak yang kanan dan kirinya dipenuhi tumbuh-tumbuhan hijau, tak sedikit juga ada bunga-bungan putih Teklan bernama ilmiah Ageratina riparia yang menemani tiap langkahku. Ada juga beberapa bunga ungu dan tanaman menjuntai yang menghiasi pandanganku saat melihat seberkas cahaya ke langit. Di perjalanan, aku bertemu dua anak perempuan yang mendaki bersama keluarga mereka, berumur 7 dan 9 tahun. Aku salut melihat semangat mereka dengan pendakian hari ini, sebelumnya mereka berdua telah melakukan pendakian ke beberapa gunung. Paman mereka menawarkan permen cokelat kepadaku, aku dengan senang hati menerimanya. Tak hanya itu, beliau juga turut membantuku mengambilkan botol air minum dari carrier-ku dan bersedia menaruh kembali ke tempat semula. Aku senang ketika orang asing bisa menjadi sosok yang sangat perhatian walaupun tidak saling mengenal satu sama lain.

11:50 — Perjalanan Masih Panjang

It was nice to meet them!— 2 anak perempuan yang sampai saat ini aku tidak mengingat nama mereka :( | 19 Agustus 2023–11:51 | Doc. Pribadi.

Sampai Pos 1 — Dok Malang di ketinggian 2.189 MDPL, keadaannya ramai sekali seperti tamu undangan di perkawinan. Aku dan rombongan beristirahat sejenak untuk menyantap makan siang kami yang diberikan saat di base camp tadi. Makan siang sederhana, kami duduk dan menyantap di bawah pohon rindang. Aku bertemu kembali dengan 2 anak perempuan tadi, lalu mengajak mereka berbincang lebih lanjut. Mereka sepupuan, sumpah sampai sekarang aku berusaha keras untuk mengingat nama mereka berdua. Di perjalanan tadi aku sempat memotret mereka menggunakan kamera mainanku, aku berharap hasilnya memuaskan. Lalu sempat mengabadikan swafoto bersama keluarga mereka di papan tanda Pos 1. Senangnya.

12:48— Wahai Pundak dan Kaki, Masih Kah Bertahan?

Barang bawaanku yang seadanya | 19 Agustus 2023–13:56 | Doc. Pribadi.

Perjalanan menuju Pos 2 punggungku mulai terasa lelah dan pegal, tapi aku masih menikmati setiap langkah dengan jarak tempuh hampir 1KM. Dari pukul 13:00 kabut sudah muncul hingga sesampainya aku di Pos 2 — Pandean pukul 13:45, kabut masih terlihat dalam batas wajar. Aku masih bisa memandang sejauh 10 meter dengan jelas, hanya saja cuacanya memang sedikit mendung. Di Pos 2 tak sedikit para pendaki yang memilih untuk duduk dan beristirahat, di sini banyak pendaki berlalu lalang yang baru saja turun dan memberikan pesan rayuan untuk sekadar memberikan semangat agar tak pantang menyerah; “Semangat Mas/Mbak, 5 menit lagi sampai” — dusta yang paling umum terjadi di gunung.

14:50 — Yang Tadi Hanya Permulaan?

The people who made this trip was fun and memorable! | 19 Agustus 2023 —15:04 | Doc. Pribadi.

Setelah menempuh jarak 600M, ada beberapa tenda berwarna cerah mendominasi di lahan datar yang terlihat. Bukan, ini belum tujuan akhir, ini masih di Pos 3 — Batu Tulis. Setidaknya aku sudah sampai sejauh ini setelah melewati medan berkabut yang sangat berdebu. Musim kemarau kita harus berkutat dengan debu yang berkelimpahan dan lebih awas saat memegang rumput sebagai bentuk dukungan menahan beban badan, karena akar rumput sangat kering sehingga daya tahan rumput yang melekat dengan tanah turut renggang. Di Pos 3 ini, ada beberapa pendaki yang bermalam, karena lahan datar yang cukup luas dan aman untuk menebarkan tenda. Aku dengar dari pendaki lainnya, kalau Merbabu sedang badai, kami hanya boleh berkemah sampai di pos ini. Syukurnya saat sampai di Pos 3 cuaca masih terbilang cukup aman, walaupun kabut masih menyelimuti pandangan kami. Dengan bangga, aku memberikan afirmasi positif ke diriku dengan memberikan bukti bahwa aku sudah tiba di pijakan yang berada di atas awan. Pesona lautan awan sudah muncul di langit Barat Daya. Kami beristirahat sejenak, mengingat untuk sampai di Sabana 1 masih butuh banyak energi dengan medan perjalanan yang semakin menantang. Yang tadi hanya permulaan, sekarang pertarungan dengan debu dan jalanan terjal akan segera dimulai. Bahkan aku harus menengadahkan kepalaku tinggi untuk melihat puncak di mana kami akan menapak, tanda masih jauh, masih setengah perjalanan lagi.

16:22 — Istirahat dan Nikmatilah

Sang perkasa, Merapi | 19 Agustus 2023–17:14 | Doc. Pribadi.

Setelah melewati beberapa titik jalur rintangan yang mengharuskan kita menggunakan tali sebagai alternatif agar tetap seimbang saat menapakkan kaki di tanah berdebu. Aku telah sampai di bagian dataran yang cukup untuk setengah berbaring, beristirahat dan kaki bisa menapak untuk melihat puncak Merapi yang dikelilingi lautan awan, aku berusaha menyeimbangkan badan untuk mengambil beberapa potret Merbabu yang semakin gagah menunjukkan parasnya. Kabut telah pamit, kini cerah dan udara segar telah menanti. Semakin ke puncak, jalur semakin terjal, kakiku menapak hampir 45 derajat, aku harus berusaha sangat hati-hati menyeimbangkan badanku dengan cara membungkuk agar tidak berat sebelah dengan carrier yang aku bawa. Kakiku yang sudah gemetar ini mulai meringkuk dan merayap di jalur penuh debu, hingga pada pukul 17:15 akhirnya aku melihat seberkas cahaya yang malu-malu menampakkan wujudnya dari bayangan pepohonan di puncak, Sabana 1!

17:20 — Aku, Salah Satu Pemenang di Hari Ini!

Saksi bisu tempat aku menangis dan takjub dengan ciptaan Sang Maha Kuasa | 19 Agustus 2023–17:32 | Doc. Pribadi.

Aku tak sabar melangkah hingga berdiri dan berjalan di lahan datar kembali. Aku berhasil! Menempuh jarak 600M dan kini menapakkan kakiku di ketinggian 2.770 MDPL. Beberapa pendaki ada yang mulai turun, dan terlihat tenda-tenda yang didominasi warna-warna cerah — merah, kuning, oranye dan indigo berbaris menyambut kami para pendaki yang baru saja sampai. Senang bukan kepalang, perasaanku sudah mulai gak karu-karuan. Aku semakin cepat bergegas melangkahkan kakiku menuju perkemahan kami. Bendera segitiga berwarna-warni yang melayang direntangkan di atas tenda-tenda bergerak ke kanan ke kiri berbisik karena hembusan angin yang cukup kencang, seakan menyambut kami semua.

Aku meletakkan barang-barangku di tenda. Aku turut berbahagia, karena aku akan berbagi tenda dengan grup seperjalananku tadi. Aku akan bermalam di tenda bersama Kak Natta, Mas Andre, dan juga Kak Rangga. Saking riang dan campur aduk, tidak tahan membendung perasaan gundah gulana hatiku, aku melipir ke arah Barat Daya. Aku terpana melihat Merapi yang sudah berani menampakkan wujudnya di antara awan-awan kumulus. Begitu juga sang oranye matahari terbenam, persis seperti warna langit di lukisan Raden Saleh — “Enam Pria Berburu Rusa” tahun 1980 lampau. Aku terpana dan diam sejenak, tersadar dengan momen yang membawaku terbang bertamu ke sini, ke salah satu atap langit Jawa Tengah. Terduduk, aku merengek dan menangis seperti kesetanan dengan sisa energiku yang aku punya dari usaha sepasang kakiku yang melangkah 18.000 jejak. Dengan wajah penuh debu seperti tidak dibasuh sebulan, aku menikmati pemandangan indah yang dihiasi lautan kapas-kapas raksasa yang berjalan entah sampai ke mana pemberhentiannya. Aku tersedu, mengevaluasi perjalananku yang penuh makna.

Romantisnya seberkas warna oranye mentari di ufuk barat daya ditemani oleh Gunung Sumbing | 19 Agustus 2023–17:49 | Doc. Pribadi.

Aku mengabadikan banyak momen dari berbagai sudut dengan pemandangan sang pelukis Agung. Sulitnya berkelana sendiri ketika ingin mengambil potret diri, tapi sumpah beruntungnya aku dapat bantuan dari para pendaki yang ramah tamah sedang menikmati momen ini juga. Mereka membantuku mengabadikan potret-potretku bersama Merapi, senja dan edelweis. Aku puas sekali dengan hasil jepretan seorang Mbak-Mbak yang sepertinya lebih tua dariku beberapa tahun, yang lagi-lagi aku tak bisa mengingat namanya dengan baik. Matahari perlahan beristirahat untuk para insan yang bernafas di garis khatulistiwa, pergi meninggalkan langit Merbabu meninggalkan gelita dan siluet redup setiap insan yang sedang berdiri menghadapnya.

18:06 — Sejuk dan Tenang

Warm on the cold night | 19 Agustus 2023–19:35 | Doc. Pribadi.

Aku kembali ke tenda. Rupanya Kak Natta sempat mencari di mana aku berada. Yang lain sudah mengganti pakaian dengan penutup tubuh yang lebih tebal. Aku sudah mulai merasa sejuk yang tidak familiar. Aku pun mengganti baju di tenda dengan seberkas cahaya lampu senter kepalaku. Kami disuguhkan makan malam sederhana yang sedap. Senangnya saat mengikuti agen perjalanan adalah kita tidak perlu repot membawa nesting, gas dan alat tempur masak lainnya, karena sudah mereka sediakan. Aku menyantap makan malamku bersama Kak Irfan, the duo — Onge dan Jange. Kemudian aku melancarkan misiku memotret bintang-bintang yang rasanya tak pernah aku lihat secara langsung dengan mata telanjang senyata ini, polusi ibu kota membatasiku melihat karya-karya Tuhan dengan mudah, bahkan bulan pun tak selalu tersenyum di ibu kota, sering tertutup kabut dan polusi. Dengan kemampuan memotretku yang biasa-biasa saja ini, aku berusaha berkali-kali agar bisa mendapatkan potret-potret yang lumayan bagus untuk aku pajang sebagai dokumentasi di tulisan-tulisan dan media sosialku, dan akan aku simpan untuk diriku sendiri.

Took Merbabu’s milky way just using my phone ❤:’) | 19 Agustus 2023–21:01 | Doc. Pribadi.

Singkat cerita, aku menghabiskan malamku berbincang-bincang sedikit dengan orang-orang dari agen perjalanan tentang kisah mereka yang sudah berkelana ke banyak atap-atap langit di pulau Jawa, bahkan nun jauh di wilayah paling timur Indonesia sana, piramida Carstenz. Jujur aku baru saja mengetahui mengapa dinamakan sebegitu western-nya, di antara pilihan nama-nama warlok yang ikonik. Rupanya dahulu ada seorang penjelajah berkebangsaan Belanda bernama Jan Carstenszoon yang konon katanya beliau ini yang pertama kali melihat keajaiban gletser di Barisan Sudriman, Puncak Jaya Wijaya di hari yang cerah tahun 1963, yang kemudian menginspirasinya untuk menamainya dengan nama belakangnya, “Carstenz”. Sebenarnya Piramida Carstenz ini dikenal dengan berbagai nama, mulai dari Puncak Soekarno, Puncak Jaya, Nemangkawi, Puncak Jayadikesuma dan Ndugundugu. Namun, Carstensz Pyramid menjadi julukan yang paling popular saat ini. Sambil menyeruput teh tawar hangatku, aku terkesima dengan kisah-kisah mereka yang menginspirasiku untuk berani melakukan pengembaraan selanjutnya ke atap-atap langit lainnya. Pukul sudah menunjukkan sekitar 20:30, aku melipir ke tenda Kak Onge, Kak Irfan, Jange (yang sedang tertidur) dan Mas Baim untuk sekadar mampir sambil minum teh. Sambil berbincang dan mengisi waktu, kami memilih bermain Ludo online di ponsel Mas Baim, tidak ku sangka permainan kami berlangsung seru, jiwa kompetitif ini menggebu-gebu. Di penghujung permainan, Kak Irfan ke luar menjadi pemenang, sungguh menyenangkan bertarung permainan bersama di keadaan dinginnya Merbabu malam ini sekitar 10 derajat. Pukul menunjukkan angka 21:00, tanda dan batas waktu yang direkomendasikan bagi para pendaki untuk mulai beristirahat, karena pukul 03:00 kami harus melakukan pendakian lagi untuk melihat matahari terbit di puncak Keteng Songo dan Triangulasi. Aku pamit dengan teman bertarungku tadi dan bergegas menuju tendaku untuk beristirahat.

Penghuni tendaku sudah beristirahat semua. Aku menggelar sleeping bag dan berusaha maksimal untuk tidur, sejak jam tidur normalku biasanya dimulai pukul 00:00, aku cukup kesulitan berkonsentrasi memejamkan mataku. Kakiku mulai terasa dingin, entahlah ini sudah berapa derajat. Aku hanya membawa 2 pasang kaos kaki mendaki, dan tidak menyiapkan kaos kaki khusus untuk tidur. Ini akan menjadi bagian evaluasi pendakianku kali ini. Aku memasang alarm pukul 02:00, 02:15, 02:30, selalu seperti ini, bahkan kalau di hari normal aku bisa membuat alarm hanya berjarak 5 menit. Aku yakin tubuhku akan mudah untuk bangun, mengingat kemungkinkan aku akan tidur tidak terlalu pulas malam ini. Kalau dihitung-hitung mungkin ada 3 kali aku terjaga dari tidurku, dan setiap mebuka mata aku selalu memeriksa layar gawaiku berharap waktu sudah menunjukkan pukul 02:00. Di puncak ini aku merasakan rentang waktu malam yang lamban sekali. Rasanya sudah hampir 8 jam aku tertidur tapi alarm-ku tak kunjung berbunyi. Apa karena berada di situasi yang kurang nyaman? Padahal kakiku dan badanku cukup lelah telah melewati 6 jam pendakian.

20 Agustus 2023 | 02:00 — Menuju yang Tertinggi

Pukul 02:00, bunyi alarm-ku pun berbunyi kencang memekakkan telinga. Aku yakin dari bunyi pertama terdengar tak butuh waktu yang lama untuk aku terjaga dari tidurku. Aku lega, aku langsung terduduk dan pergi ke toilet bersama Kak Natta. Di luar angin bertiup sejuk, kedua telingaku terasa sangat dingin menusuk tulang rawan. Angin seakan-akan mencari celah di setiap pakaian yang menutupi badanku untuk menembus tulang. Hal yang harus kita latih untuk mampu beradaptasi di gunung, salah satunya harus mampu berkutat dengan alam saat buang air kecil/besar. Beruntungnya, agen perjalanan ini menyediakan ruang toilet terpal untuk pendaki lebih merasa aman saat buang air, tetapi kita harus mampu menahan bau pesing dan ketidaknyamanan serta bergantung pada persediaan air pribadi, dan harus berjongkok di atas tisu-tisu bekas pakai para pendaki lainnya. Suhu di gunung yang begitu dingin sedikit mengurangi bau pesing di dalam toilet ini. Aku yakin kalau ada bentuk toilet ini di daerah timur Jakarta, semua orang akan pingsan karena baunya yang tak karuan. Tapi bagaimanapun, ini menjadi sesuatu yang bikin pendakian lebih seru dan menantang.

Selesai melaksanakan panggilan alam, kami pun bersiap dan bergegas berkumpul di tengah perkemahan untuk mendengar arahan dari pemandu pendakian. Untuk melakukan summit ini, beberapa pendaki tidak turut serta karena menyimpan energi untuk turun dan pulang nanti. Aku mewajarkan, karena untuk sampai ke puncak Triangulasi dan Kenteng Songo membutuhkan sekitar 1 jam 30 menit pendakian dengan jalur yang lebih terjal dan menikuk. Karena aku merasa energiku masih ada, bahkan ini yang paling aku tunggu-tunggu untuk menyaksikan matahari terbit di puncak, aku dengan semangat menyimak pesan-pesan dari pemandu. Sekitar 5 menit mendengar arahan, kami melanjutkan pendakian kami. Sayangnya momen ke puncak ini aku tidak bisa membawa kamera mainan analogku, entahlah, mungkin karena terdesak di tas kecilku selama pendakian film yang ada di dalam kameraku tersendat dan tidak bisa dikokang. Aku sedikit kecewa, film yang tersedia masih ada tapi apa boleh buat aku masih punya gawaiku dengan baterai yang masih cukup untuk mengabadikan momen.

Ditemani bintang-bintang menuju puncak Sabana 1 | 20 Agustus 2023–04:02 | Doc. Pribadi.

Pendakian saat gelap menurutku tidak sesulit itu. Mungkin karena rombongan pendaki banyak sekali yang menanjak ke atas, sehingga asupan cahaya juga tidak minim. Aku semangat bukan main, karena pendakian ini aku tidak lagi perlu membawa carrier besarku. Cukup membawa tas kecil untuk membawa beberapa makanan ringan, gawai, dan sedikit obat-obatan. Beruntungnya aku, Kak Jange bersedia membawa botol minumku di mini ranselnya.

04:30 — Siapakah Sang Pemilik Batu?

Batu lesung yang sakral di ketinggian 2.850 MDPL | 20 Agustus 2023–04:30 | Doc. Pribadi.

Kami tiba di puncak yang terdapat batu lesung yang dikawal oleh tali temali. Pemandu memberi pesan untuk perempuan yang sedang menstruasi untuk tidak menyentuh batu tersebut. Aku terkesima dengan bentuk lesungnya yang bulat sempurna. Aku penasaran dan bertanya kepada pemandu mengapa ada batu itu di puncak gunung ini, dan siapa yang memiliki batu ini di masa silam. Si pemandu menjawab bahwa tidak ada yang tahu juga, mungkin memang sudah ada sejak lama dan menetap di puncak ini, atau peninggalan sakral dari alam. Karena gelap, aku tidak bisa melihat sepenuhnya bentuk sempurna batu ini.

Setelah melewati batu tersebut, kami mendapatkan sedikit trek bonus yang landai, datar dan menurun. Lalu kami tiba di Sabana 2 — ketingguan 2,858 MDPL, aku meringis melihat keindahan bintang-bintang yang percaya diri menampilkan wujud mereka. Semua terlihat seperti butir manik-manik yang berserakan di kain biru indigo yang membentang luas. Aku selalu berusaha memotret mereka dengan kamera gawai seadanya, tapi sesempurna apapun jepretanku semuanya mengalahkan citra aslinya. Memang benar, perekam momen yang paling indah adalah mata. Kami beristirahat sejenak, lalu mulai bertarung lagi dengan trek yang akan selalu menanjak sampai puncak.

05:05 — Disambut Mentari

Lautan kapas-kapas empuk raksasa menuju Puncak Kenteng Songo | 20 Agustus 2023–05:09 | Doc. Pribadi.

Di ujung langit timur, sang mentari mulai terbangun menyambut kami. Tampak garis oranye dengan biru indigo yang setiap detik mulai meninggi dan bercahaya lebih terang. Awang-awan yang menyelimuti langit sangat tebal dan bergumpal-gumpal seperti kapas. Yang ku pikirkan saat ini hanyalah ingin meloncat ke kumpulan awan dan berbaring pada empuknya kapas-kapas raksasa itu. Kakiku sudah menapak dengan posisi 45 derajat mungkin bahkan lebih. Semakin ke atas, semakin harus berhati-hati. Tumpuanku aku yakinkan pada trekking pole dan sepatuku yang sudah penuh debu. Menanjak bukan lagi berdiri atau bungkuk, melainkan merangkak. Semua pendaki harus fokus dengan tiap jejak yang kami punya, ditambah debu-debu yang beberapa kali menyamarkan pandangan. Aku semakin tak sabar sampai di sana. Ternyata pendakian ini aku cukup gesit mendahului pendaki lainnya, entah karena sangat bahagia atau tidak sabaran.

Pesona 3 gunung bersaudara | 20 Agustus 2023–05:50 | Doc. Pribadi.

Pertarungan mendaki pun berakhir, aku tiba dipuncak Kenteng Songo pukul 05:30 pada ketinggian 3,122 MDPL setelah menempuh jarak 916M dari Sabana 2. Di sini semilir angin sangat terdengar dan matahari sudah menampakkan wujudnya. Merapi benar-benar gagah dan indah sekali. Di puncak ini selain Merapi, aku bisa melihat wujud gunung Sindoro, Sumbing dan Prau berjejer bertingkat seperti 3 saudara kandung, indahnya. Aku sempat berkaca-kaca, aku pikir aku akan menitikkan air mata karena pemandangan ini benar-benar menyentuh hati, ternyata aku sudah mampu menerima keindahan ini dengan senyum. Aku mengabadikan momen-momenku bersama grup rombonganku. Dan aku juga bertemu dan berkenalan dengan salah satu perempuan yang satu perjalanan denganku, Utti namanya. Kami pun berpose dan berfoto ria bersama.

The unforgettable moment — it’s funny how strangers could make you happier and treating you nicely ❤ | 20 Agustus 2023–05:39 | Doc. Pribadi.

Sebelum turun aku mampir ke puncak Triangulasi. Di sini pemandangan 3 gunung bersaudara itu semakin terlihat jelas. Aku ingin mengabadikan momen bersama papan ikonik dengan angka MDPL gunung Merbabu, sayangnya sangat mengantri dan kami harus bergegas turun untuk menghemat waktu untuk kembali pulang ke base camp. Aku memandangi sekitarku senang dengan momen ini. Banyak dari pendaki yang bersenang ria mengabadikan momen dengan yel-yel pendakian.

Semua sibuk mengabadikan Kerajaan Awan | 20 Agustus 2023–05:59 | Doc. Pribadi.

Beberapa di antaranya mengibarkan bendera dan mengambil momen-momen sendiri. Semuanya sibuk dengan pemandangan indah ini. Aku berdiam sejenak, memuaskan mata dan menikmati sekitarku selama beberapa menit. Tak terlalu banyak momen yang bisa ku abadikan di atas puncak ini, selain karena daya baterai gawaiku yang sudah redup, juga karena tidak banyak yang bisa memotret diriku terus-terusan. Tapi ini semua tak jadi masalah. Aku turut senang saat mengabadikan momen-momen orang lain yang meminta bantuanku. Aku senang melihat mereka semua tersenyum dan berbahagia.

06:44 — Turun Tak Pernah Semudah Itu

Sejuknya udara, langit biru, jalur berdebu dan teriknya mentari | 20 Agustus 2023–07:18 | Doc. Pribadi.

Aku tak ingin mengatakan bahwa perjalanan turun lebih mudah dari mendaki. Keduanya punya tingkat kesulitan masing-masing. Saat turun kita harus punya kendali ekstra pada lutut karena semua tumpuan ada di kaki. Minta ampun debu saat turun berterbangan kian kemari. Tak ku sangka ternyata jalur mendaki tadi subuh seindah ini saat matahari sudah menyinari. Awan-awan putih bersih dan langit sangat cerah dan biru, aku makin terharu. Banyak momen yang aku membiarkan diriku terperosot mengikuti tekstur tanah ke bawah karena licin, alhasil wajah dan tanganku penuh debu lagi. Terinspirasi dari slogan salah satu iklan pencuci pakaian bahwa ‘Berani kotor itu baik’ menggambarkan posisiku saat ini. Perjalanan turun summit aku lanjutkan banyak menikmati waktu seorang diri, aku nyaman dengan keadaan ini bersama diriku.

08:05 — Bersyukur Akan Momen yang Ada

Pendakian telah usai | 20 Agustus 2023–08:05 | Doc. Pribadi.

Aku terduduk di hangatnya tenda di siang hari ini. Pendakian telah usai, aku menyantap sup buah yang diberikan juru masak di pendakian, sayangnya aku lupa menanyakan nama si bapak itu. Kami segerombolan mulai membersihkan barang-barang kami. Kemudian bersiap dan bergegas turun. Aku memandangi sekitarku dan tersenyum dengan semua memori indah yang ada di sini. Ada rasa kehendak hati ingin kembali, mungkin di jalur yang berbeda, karena Merbabu pantas dikunjungi kembali.

Cuaca cerah dan banyak waktu turun ku habiskan sendiri, ini saatnya benar-benar menikmati kesendirianku. Tak banyak pendaki yang naik hari ini, mungkin karena esok hari normal akan dimulai kembali. Aku senang dengan kesendirianku, hanya ada suara langkah kaki, cuitan burung, daun-daun yang bergoyang dan jangkrik berdecit. Waktu yang tepat untuk bengong dan menghibur diri dengan berisiknya suara di kepalaku. Tapi tak aku temukan hal-hal yang biasa mendistraksiku itu di hari-hari normal. Aku tenang ada di sini.

14:30 — Perjalanan Telah Usai

Aku ke luar hutan dan kembali bertemu rumah warga. Jalur yang sama aku lewati saat hari pertama pendakian. Rasanya kakiku sudah tak sabar untuk diselonjorkan. Sampai di base camp aku langsung bergegas ke bilik air untuk membersihkan tubuh, kebetulan belum banyak pendaki yang turun, antrian hanya aku seorang diri yang menunggu satu pemuda yang sedang berada di dalam bilik air. Rasanya seperti terlahir kembali, dinginnya air menusuk tulang justru sangat menyegarkan badanku. Kemudian aku mengisi tubuhku dengan menyantap bakso hangat dari juru masak di base camp. Lalu pendaki lainnya pun turut dan bergegas bersiap untuk pulang.

Walaupun aku senang berpergian jauh, aku merindukan kamarku yang hanya sepetak itu untuk benar-benar lelap dalam istirahat. Kami pulang dengan indahnya matahari terbenam dan siluet Merapi yang sangat jelas lekuknya dan lembayung seakan-akan memberi salam perpisahan kepada insan yang pergi meninggalkan Merbabu.

21 Agustus 2023 | 06:00 — Kembali

Kami kembali ke titik awal kami bertemu, tempat perjalanan ini kemarin dimulai. Aku berpamitan kepada semua teman seperjalananku, kepada pemandu-pemandu, ada rasa haru walaupun hanya sebentar bertemu. Aku sampai di rumah pukul 06:00 dan disambut oleh Domi dan Tutu — hewan peliharaanku atau lebih pantas aku sebut adik-adikku. Aku rindu juga dengan Domi, Domi berlagak kesetanan memanjat badanku dengan girangnya. Dia selalu seperti itu jika ada yang mampir ke rumah, atau aku dan abangku sudah sampai di rumah. Tutu seperti biasa, menyambut dengan tenang. Aku membuka pintu kamarku, seperti terbangun dari mimpi aku berkata dalam hati, “Selamat datang kembali, realita”.

Epilog

Potret insan-insan di Merbabu | 20 Agustus 2023–05:25 | Doc. Pribadi.

Perjalanan ini menjadi pengalaman terbaikku sepanjang tahun 2023. Perjalanan paling emosional yang memberikan kesempatan untuk terhubung kembali dengan diriku. Banyak refleksi, belajar untuk tidak memuja ego, kesempatan untuk membuka diri dan bersosialisasi, belajar untuk merasa nyaman di keadaan asing yang tak bisa diprediksi. Perjalanan kali ini tak aku sangka dikelilingi oleh orang-orang penuh kasih. Walaupun asing tapi tak butuh waktu yang lama untuk diriku percaya dengan siapa aku berkelana.

Banyak orang berbisik, namun tak sedikit yang mengerti. Apa yang dicari di atas gunung? Apa yang membuat semua tamu ingin kembali? Dan mengapa harus merelakan kaki sakit dan nafas terengah hanya untuk sampai di sana?

Perlahan aku mengerti jawabannya, setidaknya dari pikiranku. Aku merasa aku selalu menjadi pemenang setiap aku sampai di puncak paling tertinggi. Pendakian ke gunung mengajarkanku proses, perjuangan dan ketabahan. Aku merasa diriku kuat mampu menaklukan segala rintangan dan diakui oleh hembusan angin sejuk, ditemani oleh awan-awan rindang, dan diberi imbalan nikmat keindahan pesona mentari, rembulan dan bintang-bintang, tak ada yang menandingi hiasan alam ini jika tak menginjakkan kaki di atas puncak tertinggi. Mungkin ini cara para petualang sembunyi dari rutinitas yang membosankan, dari miskinnya pengakuan dunia, melarikan diri dari buruknya substansi kimiawi dari ulah kita sendiri — manusia, dan juga cara pelampiasan rasa pilu yang ikut terbuai dari jauhnya langkah kaki dan nimatnya peluh.

Manual

Dari kisahku ini, aku ingin berbagi sedikit manual yang sebenarnya sangat umum, dan mungkin sudah banyak yang mengerti, tetapi berharap bisa menjadi pengingat kembali untuk lebih bijak saat melakukan perjalanan ke gunung, terutama untuk kalian para pengembara solo. Mari kita simak:

  • Kalau merasa terganggu dengan kerumunan orang, lebih baik meninjau kembali pemilihan tanggal di hari-hari yang tidak ada hari libur-libur tertentu. Pengalaman kemarin aku mendaki setelah libur Kemerdekaan baru saja usai. Sepertinya banyak para pekerja yang mengambil cuti lanjutan dari hari Kamis sampai Senin, sehingga pendaki yang datang pun membludak.
  • Bijaklah memilih tabir surya semprot yang praktis. Aku meremehkan hal ini karena aku pikir tabir surya krim yang aku punya akan aman sentosa, yang penting fungsinya, ribet sedikit tidak apa-apa. Padahal sebenarnya ini perihal alasan karena ingin berhemat saja, hehe. Di gunung, khususnya Merbabu yang tidak ada mata air, persediaan air tergantung dari apa yang kita bawa sendiri, sehingga jika ingin mengaplikasikan tabir surya kembali kita membutuhkan air untuk membasuh tangan terlebih dahulu karena sudah pasti berdebu. Alhasil kemarin aku tidak menggunakan kembali saat turun gunung, karena persediaan airku sudah menipis untuk aku gunakan membasuh wajah. Beruntungnya cuaca saat turun berawan dan tak se-terik itu.
  • Bawa kaos kaki ekstra yang tebal/heattech untuk tidur. Kemarin aku hanya membawa 2 kaos kaki khusus untuk mendaki, sebenarnya tebal, tetapi kaos kaki ini dilengkapi fitur coolmax yang lebih sesuai untuk pendakian (aku sangat rekomen ini untuk dipakai saat pendakian), namun saat aku gunakan untuk tidur, kakiku tidak terlindungi dengan hangat.
  • Jangan meremehkan pemilihan sepatu, pakailah yang memang khusus dirancang untuk mendaki. Saat turun kemarin aku melihat beberapa pendaki yang ragu-ragu dan kesulitan menyeimbangkan badan saat melangkah. Tak heran, karena sepatu yang mereka gunakan lebih sesuai untuk digunakan sebagai penggunaan sehari-hari, tidak didesain kokoh untuk mencengkram tanah. Hal-hal seperti ini jangan disepelekan, karena bisa berakibat fatal dengan keselamatan diri sendiri.
  • Bantal tiup sangat mendukung kualitas tidurku malam kemarin. Ringan, mudah digunakan dan tidak perlu ribet mengeluarkan baju-baju sebagai sandaran kepala.
  • Legging thermal/heattech untuk double layer saat tidur sangat aku sarankan. Apalagi bagi kaum yang terbiasa tinggal di panasnya Jabodetabek yang jarang terpapar cuaca dingin, alias kita selalu gladi resik sepersekian persen panasnya api neraka, ampun deh.
  • Memang tidak diajarkan secara praktik di sekolah, pun juga bukan sesuatu hal yang perlu diulangi dan diingatkan selalu, tetapi alangkah baiknya untuk para solo agar selalu berani menyapa dan memulai percakapan terlebih dahulu kepada orang-orang di sekitar agar perjalanan lebih berkesan dan koneksi baru pun tercipta. Introver bukan jadi penghalang.
  • Yang terakhir ini sangat personal. Aku merasa setelah melakukan latihan yoga, keseimbangan tubuhku meningkat jauh lebih baik. Saat menapak kaki naik dan turun gunung, aku tidak pernah ragu-ragu dengan langkah yang aku ambil. Tidak takut melompat ke sana ke mari, dan lututku tak goyah walaupun sudah kelelahan. Mungkin juga karena yoga, mungkin juga karena aku sudah lebih percaya dengan kemampuan diriku. Setidaknya ini yang aku ukur jika dibandingkan dengan pendakian pertamaku yang saat itu belum menggiati yoga dan minim olahraga.

Mungkin ada yang bertanya-tanya (jika ada yang penasaran), siapa agen berkelanaku kali ini?? Baiklah, akan aku spill! (pakai nada Gen Z). Aku berkelana bersama Tiga Dewa Adventure. Bisa cek jadwal, harga dan detail di Instagram mereka di sini. Sedikit ulasan tentang plus minus pendakian bersama mereka:

Plus

  • Basic open trip, yang pasti kita tidak perlu ribet bawa tenda. Tenda sudah disediakan, dirakit pemandu, kita tinggal terima beres, tidur, aman terkendali. Set tendanya juga seru diberi ornamen bendera-bendera, menambah kesan festive dan adventorous.
  • Tidak perlu berat-berat bawa bahan makanan. Semua makanan dimasakin, lengkap tak hanya makanan berat, juga ada ada teh, sup buah, dll. Kita akan dikasih konsumsi makanan berat 4x selama perjalanan. Untuk soal rasa, aku akui standar rasa makanan pada umumnya, mungkin tidak semewah masakan rumah makan padang kesukaan kalian haha, tapi aman kok, aku tidak ada komplain apapun, karena aku tidak terlalu pemilih ekstrim soal makanan. Apalagi di keadaan genting seperti di gunung, jadi lahap aja. Mungkin bagi kalian yang porsi makanannya banyak, akan menilai bobot per porsinya sedikit, tapi kalau ada konsumsi lebih, bisa nambah kok. Sungguh aku mewajarkan juga, makan secukupnya saja biar tidak mulas.
  • Disediakan toilet terpal yang cukup membantu agar tidak perlu was-was musti ke semak-semak tanaman untuk buang hajat. Hanya saja karena harus berbagi dengan pendaki lainnya, harus tahan dengan bau tak sedap.
  • Fasilitasnya di perjalanan yang sangat nyaman. Mini busnya bersih, dilengkapi dengan terminal USB di setiap sisi tempat duduk, sehingga bisa sambil mengisi daya ponsel. Yang paling seru bisa carpool karaoke bareng teman seperjalanan, pengemudinya juga berhati-hati dan berpengalaman.
  • Rangkaian pemilihan jadwal dan jam juga aman terkendali. Diberi waktu yang sangat cukup di rest area, waktu sampai di base camp juga tepat di pagi hari.
  • Selain fasilitas dan kenyamanan, ikut open trip seperti ini akan menambah pengalaman semakin berkesan, karena kita dihadapi dengan orang-orang baru yang akan menjadi teman seperjalanan. Banyak insan yang kita temui, banyak juga pelajaran yang bisa kita dapatkan.

Minus

  • Ramai sekali, mungkin ini karena pemilihan tanggal yang aku ceritakan tadi. Karena ramai ini, pemandu tidak terlalu banyak memperhatikan dan berinteraksi ke semua pendaki, jadi harus lebih berhati-hati, jaga diri dan ikuti arahan pemandu sebaik mungkin, in case kalau terpisah dengan rombongan.
  • Aku tak bisa menemukan minus apapun lagi. Karena semua pemandunya ramah, seru, sangat membantu. Worth the price, worth the experience. Would definitely back to them again in my next solo adventure.

Sekian kisah perjalananku yang sebagian besar sudah aku ringkas semaksimal mungkin. Apakah di masa depan akan ada cerita terbaru? Kita tidak pernah tahu. Mungkin, segera, sampai bertemu!

--

--